Berita Islam – Menyebarkan Keoptimisan. Sudah berhari-hari bahkan hampir terhitung bulan, kita bergelut dengan rasa khawatir dan ketakutan. Sudah saatnya kita saling menguatkan, saling memberi penghiburan dan pengharapan. Periode peringatan dan kewaspadaan sudah cukup, sudah cukup berlarut bahkan menjelma takut segala peringatan dan himbauan itu.
Kewaspadaan perlahan mengendap menjadi teror ketakutan.
Cerita keoptimisan kali ini saya mulai dengan cerita wisuda teman-teman kelas saya, kelas 3 aliyah madrasah diniyah Futuhiyah kwagean 2020.
Saya sudah membersamai mereka sejak kelas 5 ibtidaiyah, yaitu sekitar tahun 2012 lalu. Saya yang baru pulang dari mondok, mendapat tugas pertama untuk menjadi wali kelas mereka, para santri yang rata-rata baru ditahun pertama menjadi santri. Saya yang baru mulai belajar dengan se’sungguh’nya, diharapkan menjadi mentor bagi mereka, para santri baru yang sebagian besar masih usia ‘menuju dewasa’. Sejak awal masuk kelas, saya sudah memposisikan diri sebagai ‘sahabat’ yang akan menemani mereka berproses.
Kami sama-sama sedang memulai proses baru, saya belajar memahami pelajaran dan pengajaran, mereka belajar mengenali diri, lingkungan, dan pengetahuan.
Saya mulai dengan memperkenalkan diri, lalu gantian dengan mereka. Satu persatu saya minta kedepan kelas, memperkenalkan nama diri, alamat, dan tak lupa: cita-cita dan tokoh idola. Bukan tanpa alasan, saya ingin mereka berproses mengenal diri dimulai dari mengenal apa yang diinginkan oleh hati.
Bila ada yang belum tahu cita-cita dan tokoh idolanya, maka akan saya jadikan itu pe er atau pekerjaan rumah mereka. Dan selalu saya tagih, hingga ketemu apa yang mereka mau. Saya tak pernah menolak atau menertawakan apapun cita-cita atau siapapun tokoh idolanya. Karena menemukan passion diri pun, sudah menjadi pekerjaan berat bagi sebagian kita.
Setelah satu persatu maju dan menyampaikan segala tentang impian nya, maka sedikit demi sedikit saya berikan contoh bagaimana orang-orang hebat mampu mewujudkan segala impian mereka.
Setelah berjalan dua tiga tahun, saya mulai mengenal masing-masing kepribadian mereka. Disamping nama dan kamar mereka tentunya. Pengenalan karakter ini saya lakukan dengan natural, setiap kali masuk kelas dan memandang satu persatu nama murid di kelas ketika mengabsen, saya selalu berusaha menyentuh dan memahami mereka lewat pertanyaan ringan dan segala kebiasaan-kebiasaan. Disamping, informasi dari teman sangat bermanfaat untuk saya dalam memahami karakter seorang murid. Ketika seorang murid A melakukan sesuatu, saya bertanya ke temannya yang bernama B. Dan si B akan memberikan informasi bagaimana biasanya si A.
Selalu begitu usaha saya dalam memahami setiap individu di kelas.
Menginjak kelas tsanawiyah, banyak yang sudah mulai menginjak remaja. Gejolak darah muda mulai meluap, dan mulai banyak yang memberontak dan melanggar komitmen. Apalagi ketika alfiyah tsani, banyak yang mulai merasa salah jalan dan ingin berbelok arah menuju jalan lain. Entah karena tekanan diri yang merasa tak mampu lagi, atau tekanan lingkungan atau bahkan keluarga yang mempunyai rencana lain dalam hidupnya.
Saya tak pernah berani mendiktekan sebuah pilihan, saya hanya memberikan pemahaman tentang arti sebuah pilihan dan segala konsekuensinya. Mereka bebas memilih apapun, tapi juga harus siap dengan segala akibat yang timbul karena pilihannya. Dan setelah memahami itu, biasanya saya memberi contoh cerita tentang bagaimana dulu saya memilih hal-hal besar didalam hidup.
Salah satu persimpangan besar dalam hidup saya adalah ketika mondok di singosari Malang, menurut perencanaan awal saya, mondok disana hanya sebentar. Cukup setoran sampai juz 10, lalu pindah menghafal di tempat lain sambil kuliah.
Sekitar enam atau tujuh bulan setelah mondok, ternyata saya sudah selesai setoran sepuluh juz, saya pamit ke bapak untuk melanjutkan rencana yang sudah saya buat. “Kulo sampun setoran sedoso juz bah, kulo tak lanjutaken ngapalaken kaleh kuliah geh(saya sudah selesai setoran sepuluh juz bah, saya izin melanjutkan hafalannya sambil kuliah yah?)”.
Saya optimis akan diberi izin waktu itu, karena saya merasa tidak ada yang salah dengan permintaan saya. Tapi ternyata bapak malah ngendikan:” nganu lem, seng wes dimulai seng apik dimarikno pisan. Sok lek pengen ganti liane, kuliah utowo opo, sak marine setorane hatam ae(gini nak, yang sudah dimulai sebaiknya diselesaikan sekalian. Nanti kalau ingin ganti pada yang lain, kuliah atau apapun, setelah setorannya hatam saja)”.
Jujur seketika saya jengkel waktu itu, segala yang ingin saya rencanakan seperti buyar. Maka dengan sedikit menahan amarah saya menjawab: ” geh pun lek ngoten, kulo tak nahun mawon sekalian. Tigang tahun mboten wangsul(ya sudah kalau memang begitu, saya akan melakukan ‘nahun’, tiga tahun tidak pulang ke rumah)”.
Maka begitulah, saya melanjutkan hafalan saya di malang, sekaligus tidak pulang ke rumah selama tiga tahun penuh. Alhamdulillah keduanya diberikan tuntas oleh Allah.
Meskipun keputusan ini ada unsur dendam didalamnya, namun saya mensyukurinya saat ini. Ketika sudah pulang, dan mulai masuk perkuliahan, saya mulai memahami betapa beratnya bila saya harus kuliah disambi menghafalkan. Bila melihat kemampuan saya, salah satu dari kuliah atau hafalan pasti akan tidak tuntas. Atau bahkan bisa juga, keduanya tidak tuntas. ‘Ambyar kabeh’, kalau istilah kini. .
Ternyata pertimbangan ini ada dasarnya, disalah satu ngaji ihya’ beberapa minggu yang lalu bapak menerangkan:”Katimbang nerusne ngaji seng wes dimulai, ninggal luweh kepenak mungguhe nafsu.Luweh apik ngajine dihatamne ndisek, nembe pindah ngaji neng liane(daripada melanjutkan ngaji yang sudah dimulai, meninggalkan tanpa menyelesaikan memang lebih enak menurut nafsu. Sejatinya, yang lebih baik itu ngajinya dihatamkan dahulu, baru selanjutnya pindah ngaji kepada yang lain)”.
Menyelesaikan atau menghatamkan ngaji, sekolah, atau apapun yang baik memang selalu berat. Tapi bapak memberikan motifasi dengan menyitir ayat al-quran: “Sopo wonge nduwe angel siji, bakale nduwe penak loro. Soale al-usri ne makrifat, disebut peng pindo tapi artine angel siji. Hla yusron e loro, nakiroh, mongko bimakna gampange loro(barang siapa mempunyai kesulitan atau kesusahan satu, maka nantinya akan mempunyai dua kemudahan atau kebahagiaan. Karena dalam ayat tersebut lafadz al-usrinya makrifat, disebut dua kali tapi berarti kesusahan satu. Sedangkan yusron e loro, tapi nakiroh, maka bermakna kemudahannya dua)”.
Keterangan ini bisa diterapkan dengan keadaan kita saat ini, segala ke’susah’an ini semoga menjadi satu ‘tirakat’ yang akan menjadikan kita lulusan sekolah kehidupan.
Sebagaimana harapan saya bagi para wisudawan teman kelas yang bahkan ketika prosesi wisuda pun masih di’uji’, maka saya berharap ini adalah penyempurna proses. Dan sebagaimana proses yang baik, maka semoga Allah membalas dengan keberkahan ilmu dan kemanfaatan hidup. Bagi kita yang sedang di’uji’ wabah ini, mari kita saling mengabarkan kebaikan dan keoptimisan, semoga segera berlalu dan mampu mewariskan ketabahan hati, kekuatan badan, dan keindahan kehidupan.
Oleh: Gus Muslim Abdul Hannan