Cetbang.com, Berita Nasional – RUU Omnibus Law Cipta Kerja dalam waktu dekat bakal disahkan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Pemerintah dan Badan Legislatif DPR sudah sepakat dengan rancangan RUU Cipta Kerja, dan akan dibawa ke Rapat Paripurna untuk disahkan menjadi UU.
Sejalan dengan itu, gelombang penolakan deras disuarakan di tengah masyarakat, pasalnya RUU Cipta Kerja dinilai merugikan banyak pihak. Meski begitu, pemerintah dan DPR tak bergeming dan terus melanjutkan upaya pengesahan RUU kontroversial ini.
Di sisi lain, sebetulnya tak semua anggota dewan setuju dengan RUU Cipta Kerja, fraksi PKS dan Partai Demokrat menolak untuk menyetujui RUU tersebut dalam rapat Baleg Panja Cipta Kerja. Namun, jumlahnya kalah dengan tujuh fraksi lainnya yang dominan menyetujui RUU ini untuk disahkan.
Di antara beberapa RUU yang dibuat dengan konsep Omnibus Law, RUU Cipta Kerja menjadi yang paling disoroti masyarakat. Sederet poin kontroversial yang tertuang dalam RUU ini diprotes habis-habisan kalangan buruh, alasannya karena terlalu mementingkan kebutuhan investor, pengusaha, dan dunia bisnis.
Omnibus Law sendiri adalah sebuah konsep hukum yang bisa mengatur banyak hal dalam sebuah Undang-undang. Istilah Omnibus Law pun dikenal sebagai hukum yang dipakai untuk memuat banyak hal.
Bukan cuma Cipta Kerja, pemerintah juga membahas RUU tentang Ketentuan dan Fasilitas Perpajakan untuk Penguatan Perekonomian, dan juga RUU tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan dengan konsep Omnibus Law.
Dalam RUU Cipta Kerja ada 11 klaster yang dibahas, mulai dari Penyederhanaan Perizinan, Persyaratan Investasi, Ketenagakerjaan, Kemudahan Berusaha, Pemberdayaan dan Perlindungan UMKM, Dukungan Riset dan Inovasi, Administrasi Pemerintahan, Pengenaan Sanksi, Pengadaan Lahan, Kemudahan Investasi dan Proyek Pemerintah, serta Kawasan Ekonomi Khusus.
Klaster ketenagakerjaan dinilai memiliki banyak pasal kontroversial dan diprotes keras oleh buruh. Klaster ini banyak merevisi pasal-pasal yang ada pada UU no 13 tahun 2003 yang selama ini mengatur soal ketenagakerjaan di Indonesia.
Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal menyatakan ada 7 hal yang ditolak buruh dalam RUU Cipta Kerja.
1. Upah Minimum Penuh Syarat
Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) dibuat bersyarat dengan memerhatikan laju inflasi atau pertumbuhan ekonomi. Sementara itu, Upah Minimum Sektoral Kabupaten/Kota (UMSK) dihapus dalam RUU Cipta Kerja.
Menurut Iqbal, UMK tidak perlu bersyarat dan UMSK harus tetap ada. Sebab UMK setiap kabupaten atau kota berbeda nilainya. Dia juga tidak setuju jika UMK di Indonesia disebut lebih mahal dari negara ASEAN lainnya.
Jika diambil rata-rata nilai UMK secara nasional, UMK di Indonesia disebut jauh lebih kecil dari upah minimum di Vietnam.
“Tidak adil, jika sektor otomotif seperti Toyota, Astra, dan lain-lain atau sektor pertambangan seperti Freeport, Nikel di Morowali dan lain-lain, nilai UMK-nya sama dengan perusahan baju atau perusahaan kerupuk. Karena itulah di seluruh dunia ada Upah Minimum Sektoral yang berlaku sesuai kontribusi nilai tambah tiap-tiap industri terhadap PDB negara,” papar Iqbal.
Sebagai jalan tengahnya penetapan nilai kenaikan dan jenis industri yang mendapatkan UMSK bisa dilakukan di tingkat nasional untuk beberapa daerah dan jenis industri tertentu saja. Sehingga UMSK tidak lagi diputuskan di tingkat daerah dan tidak semua industri mendapatkan UMSK agar ada keadilan.
“Jadi tidak harus sama rata sama rasa, karena faktanya setiap industri berbeda kemampuannya. Karena itu masih dibutuhkan UMSK,” kata Iqbal.
2. Pesangon Berkurang
Buruh juga menolak pengurangan nilai pesangon dari 32 kali upah menjadi 25 kali upah dalam RUU Cipta Kerja. Di dalamnya, 19 bulan dibayar pengusaha dan 6 bulan dibayar BPJS Ketenagakerjaan. Dia mempertanyakan dari mana BPJS mendapat sumber dana untuk membayar pesangon.
“Karena tanpa membayar iuran tapi BPJS membayar pesangon buruh 6 bulan. Bisa dipastikan BPJS Ketenagakerjaan akan bangkrut atau tidak akan berkelanjutan program JKP Pesangon dengan mengikuti skema ini,” tutur Iqbal.
3. Kontrak Kerja Tanpa Batas Waktu
Buruh pun menolak skema Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) yang dihapus batas waktunya. Hal ini membuat buruh bisa saja dikontrak seumur hidup tanpa menjadi karyawan tetap.
“Buruh menolak PKWT seumur hidup,” ujar Iqbal.
4. Outsourcing Seumur Hidup
Iqbal juga menjelaskan dalam RUU Cipta Kerja, kontrak outsourcing disebut bisa seumur hidup. Outsourcing juga diterapkan tanpa batas jenis pekerjaan.
“Padahal sebelumnya outsourcing dibatasi hanya untuk lima jenis pekerjaan,” kata Iqbal.
5. Baru Dapat Kompensasi Minimal 1 Tahun
RUU Cipta Kerja mengatur kompensasi bagi pekerja yang akan diberikan bila masa kerja sudah mencapai minimal satu tahun. Sementara itu, kontrak kerja sudah tidak memiliki batasan waktu. Iqbal khawatir, buruh yang dikontrak di bawah satu tahun tak akan mendapatkan kompensasi kerja.
“Dalam RUU Cipta Kerja disebutkan, buruh kontrak yang mendapat kompensasi adalah yang memiliki masa kerja minimal 1 tahun. Pertanyaannya, bagaimana kalau pengusaha hanya mengontrak buruh di bawah satu tahun? Berarti buruh kontrak tidak akan mendapatkan kompensasi,” kata Said.
Hal itu dinilai bisa menjadi masalah serius bagi buruh. Alasannya, pihak yang akan membayar Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) untuk karyawan kontrak dan outsourcing menjadi tidak jelas.
Pengusaha bisa mengontrak buruh di bawah satu tahun untuk menghindari membayar kompensasi. Intinya, kata Iqbal, tidak ada kepastian kerja bagi buruh Indonesia.
“Sekarang saja jumlah karyawan kontrak dan outsourcing berkisar 70% sampai 80% dari total buruh yang bekerja di sektor formal. Dengan disahkannya Omnibus Law, apakah mau dibikin 5% hingga 15% saja jumlah karyawan tetap? No job security untuk buruh Indonesia, apa ini tujuan investasi,” papar Iqbal.
6. Waktu Kerja yang Berlebihan
Buruh juga menolak waktu kerja yang disepakati dalam RUU Cipta Kerja, karena dinilai bersifat eksploitatif dan cenderung berlebihan.
Waktu kerja dalam RUU Cipta Kerja diatur lebih fleksibel untuk pekerjaan paruh waktu menjadi paling lama 8 jam per hari atau 40 jam per minggu. Sedangkan untuk pekerjaan khusus seperti di sektor migas, pertambangan, perkebunan, pertanian dan perikanan dapat melebihi 8 jam per hari.
“Buruh menolak jam kerja yang eksploitatif,” kata Iqbal.
7. Hak Upah Cuti yang Hilang
Said mengatakan hak cuti melahirkan dan haid tidak dihilangkan, yang jadi masalah, selama cuti tersebut buruh menjadi tidak dibayar. Pihaknya tidak setuju hal itu terjadi.
“Yang hilang saat cuti haid dan hamil, upah buruhnya tidak dibayar, no work no pay. Akibatnya buruh perempuan tidak akan mengambil hak cuti haid dan hamilnya karena takut dipotong upahnya pada saat mengambil cuti tersebut,” ungkap Iqbal.
Dia ingin selama cuti haid dan melahirkan tersebut buruh tetap diberikan haknya sebagai pekerja. Jika buruh tidak dibayar selama cuti, menurutnya telah bertentangan dengan Organisasi perburuhan internasional (ILO).